Jumat, 05/04/2013 19:00 WIB
Ribut-ribut di tubuh PSSI seperti serial di televisi. Pelbagai judul
sudah keluar. Dari mulai "Pengurus Bobrok" hingga "pengurus PSSI
Menjawab".
Anda bisa menebak kalimat di atas itu berasal
dari tahun berapa? Aha! Bukan. Itu bukan berasal dari tahun-tahun
belakangan ini ketika sepakbola Indonesia penuh dengan berita brengsek
dan menyebalkan. Kalimat di atas berasal dari laporan Majalah Tempo
edisi 18 Januari 1986 -- kurang lebih 27 tahun lalu, satu tahun sebelum
Indonesia akhirnya berhasil menjadi juara SEA Games 1987 cabang
sepakbola untuk pertama kalinya.
Kalimat itu pantas untuk
dijadikan pembuka serial tulisan mengenai sejarah [politik] sepakbola
Indonesia sebagai ilustrasi tak terbantahkan: betapa sepakbola Indonesia
memang penuh dengan cerita kegaduhan, kekisruhan, keruwetan.
Ah,
tentu saja sudah banyak yang menulis tentang sepakbola sebagai alat
menumbuhkan nasionalisme. Kami tak hendak menceritakan bagaimana
Soekano, Hatta, MH Thamrin, Otto Iskandar Dinata atau Ki Hadjar
Dewantara punya pemikiran yang sama bahwa sepakbola sebagai alat
menumbuhkan nasionalisme.
Rangkaian tulisan mengenai sejarah [politik] sepakbola Indonesia di kanal About The Game
ini bukan juga hanya membahas kisruh di tubuh federasi sepakbola kita.
Rangkaian tulisan ini hendak menggambarkan bahwa persoalan sepakbola
Indonesia memang selalu gaduh sejak dahulu. Kita juga tak bicara tentang
apa yang harus dilakukan di masa sekarang terhadap sepakbola, tapi
hanya hendak menunjukan bahwa sejarah itu [memang] seringkali berulang.
Ada
banyak contoh yang bisa diajukan mengenai perulangan dalam cerita
sepakbola kita, beberapa di antaranya bisa disebutkan di sini sebagai
ilustrasi:
Di puncak kekuasaan Presiden Soekarno, menjelang
diselenggarakannya Pesta Olahraga Ganefo, terjadi dualisme pengelolaan
sepakbola antara KOGOR [semacam KONI sekarang] dengan PSSI. Puncak
konflik antara KOGOR dengan PSSI adalah terkait pengelolaan tim nasional
sepakbola yang akan mengikuti Ganefo. PSSI yang dipimpin Abdul Wahab
merasa KOGOR terlalu mendominasi. Kisruh itu tidak merembet seruwet
konflik PSSI-KPSI karena Soekarno langsung turun tangan untuk
menyelesaikannya. Tidakkah ini mirip dengan kisruh beberapa waktu lalu
terkait pengelolaan timnas SEA Games 2014? KPSI, yang memang berkonco
dengan KONI, memaksakan agar timnas SEA Games dikelola oleh KONI, bukan
PSSI.
Hampir di periode yang sama, tepatnya pada 1961, ketika
Soekarno sangat mengagungkan nasionalisme, skandal judi terkuak.
Sedikitnya 10 pemain dipecat dari timnas yang dipersiapkan untuk Asian
Games yang akan diselenggarakan di Jakarta. Lima pemain lainnya mundur
dari timnas karena ikut malu. Mereka adalah Iljas, Pietje, Omo, Rukma,
Sunarto, Wowo (Jawa Barat), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (Sulawesi
Selatan Tenggara), dan Andjiek (Jawa Timur).
Ke-10 pemain itu
terbukti bersalah karena terlibat suap dengan mafia judi di pertandingan
melawan Ceko Selection dan Yugoslavia Selection. Pimpinan KOGOR
(Komando Gerakan Olahraga) mengeluarkan mereka dari pelatnas Asian Games
pada tangga
l 22 Februari 1962 dan pengurus PSSI Pusat melarang mereka
untuk melakukan kegiatan olahraga dengan SK No. 1261/53/62 tanggal 2
Maret 1962. Keputusan itu juga didasarkan atas putusan pengadilan
istimewa Jakarta terhadap para pelaku suap di pertandingan tersebut.
Jika
saat ini semua orang sibuk berbicara tentang mafia sepakbola, topik itu
sudah muncul dan berhasil dibuktikan secara meyakinkan di masa dulu.
Sekarang kita hanya mendengar ribut-ribut tanpa ada tindakan tegas untuk
menyelidiki dan menangkap para pelakunya. Hanya kegaduhan.
Bahkan
Ketua PSSI saat ini, yang pada masa awal kepemimpinannnya lantang
menyuarakan perlawanan terhadap mafia sepakbola, ternyata hanya bersilat
lidah. Ah, kampanye seperti biasanya.
Tahun 1937 pernah
terjadi pemberontakan terhadap pengurus federasi sepakbola yang diakui
FIFA saat itu. Jong Batavia, Bogor, Sukabumi dan Surabaya sepakat
membuat federasi baru yang dinamakan NIVU (Nederlandsch Indisch Voetbal Unie) sebagai upaya perlawanan terhadap Nederlandsch Indisch Voetbal Bond
(NIVB) federasi yang sah saat itu. Alasan pemberontakan itu dilakukan
itu adalah karena perkumpulan sepakbola lokal tersebut dikarenakan
pembagian keuntungan karcis masuk pertandingan yang tidak imbang. NIVB
mengambil lebih banyak keuntungan dibanding perkumpulan sepakbola lokal
yang kemudian membuat NIVU ini.
Belum lagi perlawanan PSIM dengan
membentuk PSSI baru di tahun 1937 sebagai upaya perlawanan terhadap
federasi sepakbola pimpinan Ir. Soeratin yang dinilai terlalu
berkompromi dengan Belanda saat itu. PSIM bergabung dengan perkumpulan
sepakbola Jawa Tengah guna membentuk PSSI baru. Tapi PSSI pimpinan
Soeratin tak tinggal diam. Tak berselang lama dari pembangkangan PSIM
itu, PSSI melakukan aksi pembalasan dengan membentuk PSIM yang baru
dengan nama yaitu PERSIM Mataram.
Jika PSSI era Nurdin
mengkloning Persebaya setelah klub tersebut hijrah ke Liga Prima
Indonesia [LPI], karena dikadali berkali-kali terkait laga melawan
Persik demi menyelamatkan Pelita Jaya, PSSI era Soeratin yang sangat
diagung-agungkan itu sudah melakukannya lebih dulu. Jika klub-klub ISL
melawan PSSI-Djohar dengan ikut membidani terbentuknya federasi
tandingan bernama KPSI, puluhan tahun silam PSIM sudah melakukannya.
Anda mengeluhkan banyaknya anggota DPRD dan DPR yang cawe-cawe mengurusi
sepakbola? Jangan kuatir, orang seperti Habil Marati, Isran Noor,
Achsanul Qosasih, Hinca Pandjaitan, dkk., di masa sekarang punya
leluhurnya di masa lalu. Dulu anggota volksraad [dewan
perwakilan di masa kolonial] juga banyak yang mengurusi sepakbola. Sebut
saja nama: Otto Iskandar Dinata di Persib, MH Thamrin di Persija,
Tengku Nyak Arif di Persiraja. Dick de Hood, pendiri klub THOR di
Surabaya, juga seorang anggota volksraad. Dan tahukah Anda jika
klub THOR itu masih hidup sampai sekarang dan saat ini malah diurus
oleh seorang politisi sepakbola yang masih menjadi anggota DPRD Jawa
Timur?
Ada satu fakta tambahan yang bisa diajukan untuk
menjelaskan dengan amat ilustratif bagaimana politik mengendalikan
olahraga, tak terkecuali sepakbola. Menjelang digelarnya Asian Games
1962 di Jakarta, Soekarno sampai mengeluarkan surat edaran berjudul
"Amanat Tertulis Presiden Republik Indonesia", yang dengan sangat terus
terang menyampaikan keharusan Indonesia masuk 5 besar Asia. Hasilnya:
Indonesia peringat 2 dalam Asian Games 1962!
Setahun kemudian,
Soekarno kembali mengeluarkan Kepres No. 263/1963 tentang misi Indonesia
yang harus masuk dalam 10 besar olahraga di dunia dalam 10 tahun.
Kepres itu juga memancangkan ambisi: atlet-atlet Indonesia bukan hanya
harus berprestasi, tapi juga mutlak harus berjiwa progresif agar memberi
sumbangan pada pembentukan manusia baru Indonesia.
Bisa
dibayangkan bagaimana kerasnya suasana pelatnas cabang-cabang olahraga
saat itu. Toni Pogacnik, pelatih timnas saat itu yang datang ke
Indonesia dalam suasana politik kemesraan hubungan Indonesia dengan
negara-negara Eropa Timur, menggenjot habis-habisan pemain-pemain
timnas. Silakan Anda bayangkan apa jadinya jika pemain seperti Hamka
Hamzah masih aktif bermain di era Soekarno.
Instruksi tanpa
tedeng aling-aling itu mengingatkan kita tentang bagaimana Aburizal
Bakrie yang sudah jadi ketua umum Partai Golkar membawa para pemain
timnas Piala AFF 2010 ke kediamannya? Jika dulu Soekarno yang memberi
instruksi melalui Kepres, di era modern pernah terjadi Nurdin Halid
menurunkan harga tiket Piala AFF 2010 karena mengikuti seruan Ical.
Anda
bisa melihat paralelismenya, bukan? Kekisruhan dan kegaduhan yang terus
berulang. Dan itu hanya sedikit contoh dari belasan insiden dan
peristiwa historis yang akan kami paparkan dalam serial artikel yang
akan kami turunkan mulai hari ini.
Dan untuk semua paralelisme yang seringkali menyebalkan itu kita hanya perlu menyebut satu hal: politik!
Hubungan
antara sepakbola dan politik adalah unik. Sepakbola dan politik
nyatanya berbagi banyak kesamaan. Sepakbola dan politik memiliki jutaan
penonton, sepakbola dan politik menghasilkan tribalisme yang ekstrim.
Sepakbola dan politik sama-sama memunculkan harapan berbagi,
bersenang-senang dalam kemenangan, persaingan dan kekalahan, pertikaian
dan perselisihan.
Di sepakbola dan politik ada teladan dan tokoh
inspiratif nan hebat yang diakui secara internasional, ada pahlawan
lokal yang sangat dicintai. Dan media menunggu cerita sepakbola dan
politik atas loyalitas dan persaingan sengit dari para pendukung mereka.
Dan di saat-saat tertentu, politik dan sepakbola memiliki kemampuan
untuk mempersatukan bangsa. Menciptakan harapan pada saat tragedi dan
mendatangkan gembira pada saat datang kemenangan.
Pengaruh
sepakbola sangat besar terhadap banyak kalangan. Andik Vermansyah
mungkin hanya berkutat berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lewat
berdagang kalau dia tidak menemukan sepakbola. Sepakbola juga memberikan
bantuan dari kesulitan hidup sehari-hari. Sepakbola menawarkan
kesempatan pada manusia untuk melarikan diri dari kekhawatiran dan
kecemasan mengenai keadaan ekonomi hari esok.
Sepakbola juga
menghadirkan tentang merayakan kebanggan nasional, kebanggaan lokal,
mendorong potensi lokal. Dan politik bisa belajar dari sepakbola dalam
banyak hal ini.
Di bulan April ini, tepat pada perayaan 83 tahun
lahirnya PSSI, kami hendak menyajikan kado yang manis untuk para pembaca
tentang sepakbola Indonesia, tentang kejayaan, kebangaan, kegaduhan.
Sekarang atau dulu ternyata sama saja. Sepakbola Indonesia tak banyak
berubah.
Jika melihat federasi sepakbola Italia sebagai contoh
pun ternyata sama. Kegaduhan, skandal, politisi yang menjalankan
sepakbola itu masih terjadi. Bedanya, di Italia, hukum lebih ditegakkan
dan federasi mengambil tindakan untuk antisipasi atas apa yang akan
terjadi. Di Indonesia? Di sini hanya kisruh dan kegaduhan saja yang
terdengar sejak dahulu. Ya memang, sejarah itu berulang. Sejarah
kegaduhan sepakbola, sejarah sepakbola yang dijalankan para politisi.
Orang
mungkin bisa berargumen: level Soekarno, Thamrin, Otto Iskandar Dinata
saat mengurusi sepakbola berbeda dengan level politisi zaman sekarang.
Mereka menjalankan misi mulia nasionalisme, sementara sekarang hanya
mengejar kepentingan-kepentingan jangka pendek demi kekuasaan semata.
Argumen seperti itu tak sepenuhnya salah, tapi perlu juga dicatat:
politik niscaya selalu tentang kekuasaan. Dan di hadapan kekuasaan,
semua orang berpotensi sama: punya kecenderungan menyalahgunakan dan
koruptif -- apapun dan bagaimanapun mulia tujuan awalnya.
Karena
potensi itulah politik seringkali dihindari tapi tak habis-habisnya
orang menggeluti jalan politik. Potensi negatif politik itu toh tak
menutupi kenyataan mendasar: mustahil terjadi perubahan mendasar tanpa
terjadinya perubahan di lapangan politik.
Kegagalan memahami
sekaligus memaksimalkan secara cerdik daya politik ini yang menyebabkan
rezim Djohar Arifin gagal secara dini dalam menuntaskan agenda reformasi
sepakbola di Indonesia. Jelas sebuah kesalahan mendasar jika ingin
menghancurkan rezim lama yang canggih dalam berpolitik tanpa pemahaman
yang memadai mengenai bagaimana politik dijalankan dalam sepakbola.
Ya,
politik adalah panglima! Demikian judul besar dari era Demokrasi
Terpimpin Soekarno dulu. Dan olahraga adalah salah satu eksperimen
terpenting Soekarno dalam menjadikan politik sebagai panglima. Tidak
heran jika dedengkot PKI, si flamboyan Njoto, memuat ultimatum penting
di Harian Rakjat edisi 4 Maret 1964: "Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!"
Dan
semoga, kelak di artikel penutup serial tulisan ini, semoga kami bisa
mengajukan sebuah hipotesis yang meyakinkan: jika memang politik
mustahil dipisahkan dari sepakbola, maka harus ada formula paling aman
untuk mengakomodasi politik dalam sepakbola.